MANAJEMEN SENI
SECARA TRADISIONAL
1. Pengantar
Masyarakat di dunia ini dalam rangka mengisi kebudaya-annya, selalu menggunakan seni untuk memenuhi akan rasa kein-dahan yang memang telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Alam konteks memenuhi rasa keindahan ini, manusia mengunakan dimensi ruang, waktu, dan tenaga seperti yang terdapat dalam seni tari, menggunakan dimensi ruang dan waktu seperti pada seni musik, menggunakan ruang, waktu, komunikasi verbal seperti dalam teater. Kemudian dalam mengelola kesenian ini, manusia menggunakan manajemen, yang kemudian dilakukan berlang-ulang dan terjadilah pembudayaan manajemen menurut kelompok masyarakat itu sendiri.
Munculnya berbagai jenis kesenian dalam masyarakat tak terlepas dari kebutuhan akan kesenian. Dalam hal ini terjadilah pula proses ekonomis. Masyarakat memerlukam kesenian yang digunakan dalam kegiatan sosial tertentu. Proses ini dapat dikatakan sebagai permintaan atau keperluan pasar (demand). Kebutuhan pasar itu, direspons dengan memunculkan kesenian yang diperlukan. Dalam konteks ini para pengelola seni dan seniman melakukan proses pemenuhan kebutuhan masyarakat yang lazim kita sebut dengan pengadaan barang atau supply.
2. Guna dan Fungsi Seni
Seni yang timbul dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, adalah untuk memenuhi keperluan sosial. Kesenian ini memiliki guna dan fungsi dalam masyarakat. Menurut Merriam guna dan fungsi musik di dalam etnomusikologi hadir sebagai sebuah masalah yang sangat penting, dalam rangka melakukan kajian tehadap perilaku manusia secara konstan. Etnomusikolog tidak cukup hanya sekedar mencari fakta-fakta deskriptif tentang musik, tetapi yang paling penting adalah mencari makna musik. Etnomusikolog sudah selayaknya bertekad untuk tidak hanya sekedar mengetahui sesuau masalah yang dilandasi oleh pertanyaan apa itu, tetapi yang lebih penting adalah apa yang dilakukan masyarakat dan bagaimana masyarakat melakukannya (Merriam 1964:209)
Adalah penting untuk membedakan makna antara guna dan fungsi musik dalam konteks kebudayaan masyarakat di dunia ini.
Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses songto w[h]o his love, the function of such music may be analized as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular mechanism as such a dance, prayer, organized ritual, and ceremonial act. The functionof music, on the other hand, is inseperable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the situation which music is employed in human action; “function” concems he reason for its employment and particularly the broader purpose which its serves (Merriam 1964:210).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian penggunaan dan fungsi musik berdasarkan tahap dan dampaknya dalam satu masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bagiannya. Penggunaan dapat atau tidak dapat menjadi fungsi yang lebih dalam. Dia memberikan contoh, jika seseorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu dapat dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan—yaitu untuk memenuhi kebutuhan biologis bercinta, nikah, berumah tangga, dan akhimya menjaga kesinambungan keturunan. Jika seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut berhubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual, dan kegiatan-kegiatan upacara. Penggunaan menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam konteks kegiatan manusia; sedangkan fungsi berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama tujuan-tujuan lebih jauh dari sekedar apa yang dilayaninya. Dengan demikian, sejalan dengan Merriam, menurut penulis penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi intemal budaya.
Dalam kaitannya dengan manajemen seni dalam sebuah masyarakat, guna seni dalam masyarakat di antaranya adalah: untuk memeriahkan suasana pesta perkawinan, upacara khitanan, memasuki rumahbaru (mengket rumah mbaru pada masyarakat Karo), mengiringi upacara erpangir ku lau (mandi membersihkan diri di sungai, yaitu ritus dalam masyarakat Karo), mengiringi upacara turun tanah, mengiringi upacara menabalkan anak, mengiringi upacara akikah, mengiringi upacara pasiarhon jujungon (memanggil roh nenek moyang dalam masyarakat Toba), digunakan untuk mengiringi ritual mengobati penyakit (gebuk dan belian dalam budaya Melayu), mengiringi upacara akil baligh (pubertas), mengiringi upacara pesta panen dalam masyarakat agraris, ulang tahun seseorang, ulang tahun institusi, ulang tahun lembaga, mengiringi upacara syukuran panen, mengiringi upacara syukuran keberhasilan sosial yang diperoleh (misalnya mendapat gelar magister, mendapat gelar profesor, mendapat gelar datuk), dan sejenisnya.
Sementara itu fungsi seni yang dampak dan kaitannya lebih dalam pada sebuah kebudayaan, di antaranya adalah: untuk integrasi sosial masyarakat, baik yang homogen apalabi yang heterogen, seperti masyarakat Sumatera Utara. Fungsi seni juga untuk melanjutkan generasi manusia, untuk hiburan yang dapat menentramkan diri dalam menghadapi permasalahan dunia yang semakin lama semakin kompleks. Selain itu seni berfungsi untuk berkomunikasi baik secara lisan maupun non lisan. Dalam konteks ini komunikasi lisan biasanya menggunakan unsur bahasa, dan adakalanya unsur bahasa ini distilisasi misalnya dengan menggunakan melodi, ritme, dan sejenisnya. Semntara komunikasi secara bukan lisan, bisa melalui gerak, kedipan mata, gerak-gerik teatrikal dan tari, pantomim, diam, menangis, ketawa, dan lainnya. Fungsi seni lainnya adalah sarana untuk kemudahan dan keberlangsungan hidup. Misalnya memohon hujan kepada Tuhan ketika sebuah masyarakat mengalami musim kemarau. Dalam bentuk demikian, seni memiliki kaitan erat dengan sistem religi. Fungsi seni seperti ini juga adalah meningkatkan keimanan pada masyarakat yang bersangkutan. Fungsi seni lainnya adalah untuk menjaga keseimbangan alam. Misalnya dedeng mulaka ngerbah dan dedeng mulaka nukal dalam kebudayaan masyarakat Melayu di Langkat dilakukan saat menebang hutan dan menanam padi, yang tujuannya adalah untuk mendapat restu Tuhan dalam berladang dan makhluk halus jangan mengganggu mereka. Masih banyak lagi guna dan fungsi seni dalam konteks budaya masyarakat. Semua ini berkaitan pula dengan pengelolaannya. Untuk itu penulis akan mengkaji bagaimana manajemen tradisional yang dilakukan masyarakat Nusantara ini, tentu saja dengan contoh-contoh yang lazim dijumpai di lingkungan seputar penulis, wilayah Sumatera Utara dan sekitamya.
3. Manajemen Tradisional
Yang dimaksud dengan tradisional dalam tulisan ini adalah sebuah gagasan, kegiatan, atau ebnda-benda yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara teratur mengikuti norma-norma yang terjadi di dalam masyarakat itu. Tradisi ini erat kaitannya dengan budaya sebuah masyarakat atau sebuah kelompok etnik tertentu. Misalnya tradisi mangupa-upa pada masyarakat Mandailing, yaitu upacara menyambut seseorang yang baru ditimpa kemalangan atau mendapatkan rezeki yang baik, atau untuk mendoakan keselamatan, dan lainnya. Seni tradisional yang dimakud dalam tulisan ini adalah seni yang didukung masyarakat tradisi, dan berfungsi secara sosial selama ratusan tahun.
Sejauh penelitian penulis, manajemen seni yang dilakukan masyarakat Nusantara ini secara tradisional adalah sebagai berikut ini. Contoh-contoh akan banyak diberikan, berdasarkan pengalaman berkesenian penulis.
(a) Berkesenian bukan profesi utama tetapi kerja sampingan atau sambilan. Sebagaimana telah diuraikan di atas, setiap organisasi harus memilili tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Kemudian tujuan ini bisa dicapai dengan menggunakan sistem manajemen, seperti perencanaan, pengorganisasian, staffing, actuating, pengawasan. Hal yang paling mendasar, biasanya organisasi kesenian tradisi di Nusantara, menetukan tujuan utamanya bukan sebagai organisasi bisnis, hanya sekedar meneruskan tradisi yang telah ada dengan istilah melestarikan atau mengem-bangkannya. Jarang ditemukan sebuah organisasi seni sebagai organisasi bisnis dan keutamaan pada profesionalisme, layaknya sebuah perusahaan waralaba. Dengan tujuan sebagai kelompok yang mengusung kesenian sebagai kerja sambilan, maka manajemennya pun ditangani secara “sambilan” pula. Tujuan tidak akan diraih atau diusahakan untuk berhasil dengan sebaik-baiknya. Waktu yang diluangkan untuk kegiatan berkesenian juga adalah waktu sambilan, di luar kerja utama profesi seseorang seniman.
Walau demikian, ada sebahagian kecil seniman profesional dalam masyarakat tradisional, yang keseluruhan waktu dan hidupnya digunakan untuk berkarir di bidang-bidang seni. Dalam konteks Sumatera Utara misalnya, ada Marsius Sitohang yang bekerja sebagai seniman musik Batak Toba yang bekerja di bidang seni musik tradisi Batak Toba. Ia bergabung dengan beberapa kelompok ensambel musik tiup, sebagai seniman dan juga dipercayakan manajer kesenian untuk mengurusi kelompoknya. Selain itu ia juga dosen di Deparemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Berdasarkan penjelasannya kepada penulis, ia dapat hidup dan menghidupi keluarganya memang benar-benar penuh dari bidang seni musik tradisi Toba. Kerja utamanya adalah seniman, dan kerja sambilannya adalah dosen. Di dalam kebudayaan Melayu Sumatera Utara ada pula nama Yusuf Wibisono, yang pekerjaaan utamanya adalah sebagai seniman dan manajer (pengelola) kesenian Melayu. Ia juga pimpinan organisasi seni pertunjukan Melayu yang bemama Al-Khanon. Ia juga sebagai pembuat gendang ronggeng Melayu yang pangsa pasamya adalah Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaysia, Brunai, Singapura, dan lainnya. Ia juga ahli memperbaiki alat-alat musik Melayu yang rusak. Di samping itu ada pula Ahmad Setia, sebagai pemain akordion gaya musik Melayu yang handal, juga pembuat alat musik gendang ronggeng Melayu, kadang juga bertidak sebagai pengelola pertunjukan tari dan musik Melayu. Masih banyak lagi tokoh-tokoh seniman yang pekerjaan utamanya adalah di bidang seni ini. Namun menurut pengamatan penulis, sebagian besar seniman seni tradisional di wilayah ini bekerja di bidang seni hanya sebagai sampingan atau sambilan saja. Dengan demikian tujuan utama dalam membentuk organisasi kesenian tidak memiliki motivasi yang kuat, sehingga proses dan penggerakannya juga tak begitu maksimal.
(b) Menonjolkan pimpinan yang biasanya juga sebagai seniman utama dan pendukung dana utama organisasinya. Sebagaimana masyarakat yang hidup dalam kebudayaan agraris, pola hubungan antara anggota masyarakat adalah hubungan yang sangat menonjolkan pimpinan. Bahkan adakalanya pimpinan memiliki sifat-sifat indivdualis yang hanya mementingkan kepentingannya. Dalam sistem sosial masyarakat yang demikian, maka kontinuitas kelompoknya sangat tergantung pada pimpinan. Sangat bersyukurlah apabila pimpinan masyarakat itu memiliki sikap yang baik dan mampu mengayomi masyarakat ang dipimpinnya. Namun sebaliknhya, akan sengsaralah masyarakat yang dipimpin oleh pimpinan yang egosentris.
Berkat menumpuknya kekuasaan pada seorang pemimpin ini, sistem dan norma sosial pun bisa ia rubah dan akibatnya akan diteruskan oleh genrasi berikutnya. Demikian juga dalam manajemen seni secara tradisional di Nusantara ini, umumnya kekuasaan dan pengarahan tertumpu pada seorang pimpinan. Pengawasan (controlling) biasanya tak berjalan efektif dalam pola sosial masyarakat tradisional. Pengawasan bisa dianggap sebagai menjatuhkan kekuasaan pimpinan kesenian. Organisasi biasanya dilakukan atas dasar kehendak pimpinan. Ia akan merekrut seniman dan kru seni sesuai dengan keinginannya.
Namun demikian, dalam beberapa kelompok masyarakat atau etnik, ada juga sistem musyawarah untuk mufakat, termasuk dalam organisasi kesenian. Dalam kedudukan demikian, maka sistem sosial kesenian menjadi hidup dan berperan, bukan menonjolkan peran pemimpin.
Namun secara dasar, manajemen seni di Nusantara ini memang menonjolkan peran sosiobudaya pimpinannya. Hal ini bisa dibuktikan, jika seorang pimpinan organisasi kesenian yang punya kekuatan manajerial kuat, dan ia tidak mewariskan pada generasi selanjutnya, maka akan mati pula kelompok kesenian yang dipimpinnya ini. Atau pun kalau ada yang meneruskan dengan mengikuti pola yang sama, tetapi dengan kapasistas yang kurang, maka terjadi degradasi sosial dalam kelompok kesenian ini.
(c) Pembagian honorarium yang agak bersifat rahasia, dan biasanya dicarikan kata-kata yang “manis” seperti “uang pupur”, “uang lelah,” dan sejenisnya. Ciri manajemen seni secara tradisional di Nusantara ini, adalah pembagian hasil jerih payah bersama, kurang menghargai peran integral keseluruhan pelaku seni (seniman, kru, dan pihak pimpinan). Biasanya honorarium sangat ditentukan oleh seorang pimpinan saja. Ada juga pimpinan yang mengambil homor 50 persen lebih untuk dirinya pribadi, dan selebihnya untuk pekerja seni. Akibatnya biasanya adalah munculnya perasaan tidak senang di antara para pekerja seni yang dipimpinnya. Atau ada juga yang dengan ikhlas menerimanya, terutama seniman-seniman yang baru direkrut. Agar uang hasil kerja bersama ini dapat diambil sebesar-besamya oleh pimpinan kesenian, maka istilah yang digunakan pun bukan dengan istilah profesionalisme, seperti gaji atau honor kerja, dan sejenisnya—tetapi cenderung menggunakan kata-kata yang bemosi kerja yang dilakukan sebagai kerja sampingan, seperti uang pupur (uang bedak), uang lelah, uang rokok, uang terima kasih, uang jalan, dan sejenisnya. Keadaan seperti ini, sering terjadi dalam kelompok-kelompok kesenian tradisional di Nusantara ini.
Namun demikian, ada juga sebahagian kecil kelompok seni tradisional yang membagikan honorarium hasil kerja bersama yang memperhatikan aspek peran, kemanusiaan, keseimbangan, terhadap masing-masing individu di dalam kelompok organisasi keseniannya. Sebagian lagi bahkan telah mengadopsi sistem manajemen Eropa yang melakukan sistem kontrak dan pembayaran dengan melibatkan notariat dalam mengurusnya. Tujuan utama kelompok ini adalah menjaga seacra yuridis pendapatan-pendapat yang diperoleh agar kelompok ini berkelanjutan dan tak ada masalah dengan pendapat yng diperoleh oleh masing-masing individu dalam organisasi tersebut.
(d) Pembagian tugas tidak begitu spesifik. Ciri lainnya manajemen kelompok seni tradisional adalah tugas tumpang tindih setiap orang dalam organisasi tersebut. Jarang seorang pemain hanya memainkan satu jenis tari atau musik atau peran teater. Sebagian besar seniman biasanya harus melakukan berbagai kerja di dalam organisasi kesenian. Kadang sebagai seniman, ia juga harus mengangkat alat musik, sound sytem, tata lampu, properti tari, sebelum dan setelah pertunjukan. Bahkan ironisnya, seniman-seniman yang berusia relatif tua ikut mengangkat alat musik gordang yang besar dan berat. Ini biasa terjadi dalam kelompok kesenian tradisional. Pembagian kerja yang tidak spesifik ini biasanya akan pula mengurangi tanggung jawab dan tugas khususnya. Katakanlah jika terjadi hilangnya alat musik atau properti tari, maka para seniman saling melepaskan tanggung jawab, mereka tidak tahu ke mana alat musik dan properti tari yang hilang. Mereka hanya menduga-duga atau bahkan saling tuduh menuduh. Pembagian tugas yang tidak spesifik atau tugas ganda ini, biasanya akan mengakibatkan pula waktu dan tenaga tidak terkonsentrasi ke arah profesionalisme permainan dan pembayaran honorarium. Biasanya pendekatan semacam ini, berdasar kepada asumsi mereka adalah keluarga besar, tanggung jawab dipikul bersama-sama. Kerja pun harus dikerjakan bersama-sama dalam sistem gotong royong, dan seterusnya. Dengan cara kerja seperti ini, biasanya para seniman muda dan yang berjenis kelamin laki-laki yang diutamakan untuk bekerja ekstra keras, dengan alasan tenaganya masih kuat, masih muda, dan masih jauh masanya berkarir di bidang seni.
(e) Organisasi kesenian tradisional jarang yang dibentuk dengan mendasarkan pada aspek yuridis. Artinya sebuah organisasi kesenian biasanya dibentuk hanya berdasarkan musyawarah mufakat untuk kelestarian budaya semata. Mereka memang memiliki motivasi yang kuat untuk melestarikan kesenian tradisionalnya. Namun seiring dengan perkembangan zaman, jika terjadi masalah-masalah di antara mereka, sebahagian memang bisa dipecahkan secara adat dan musyawarah. Namun jika telah masuk ke wilayah masalah hukum, seperti plagiarisme, bajakan produksi, pengakuan hal cipta dan sejenisnya, maka permasalahan ini selalu tidak bisa diselesaikan secara adat. Maka perlu diselesaikan secara hukum. Untuk itu, supaya kuat, maka sebaiknya setiap organisasi kesenian didirikan atas dasar yuridis. Karena dengan demikian, maka segala macam permasalahan yang mencakup aspek hukum dapat diselesaikan mengikut norma-norma hukum, dan akhimya akan memberikan keadilan bagi sebagian seniman atau pekerja seni. tidak memakai hukum rimba, yaitu siapa yang kuat mengalahkan yang lemah. Pengertian kuat di sini juga bermacam-macam. Bisa kekuatan politis, ekonomis, dan lainnya. Seiring dengan perkembangan zaman, maka sudah banyak pula sekarang ini organisasi-organisasi kesenian tradisional yang didirikan berdasarkan aspek yuridis, dan biasanya tertulis dalam bentuk akte notaris. Contoh organisasi kesenian seperti ini adalah Sri Indra Ratu di Kesultanan Deli, Sinar Budaya Grupyang awalnya diketuai olehTengku Luckman Sinar, Lembaga Studi Tari Patria yang berpusat di Tanjungmorawa, Deli Serdang, pimpinan H. Jose Rizal Firdaus, S.H., dan masih banyak lagi yang lainnya.
(f) Perekrutan seniman sifatnya “cabutan.” Dalam rangka penentuan sumber daya manusia atau staffing, banyak kelompok seniman tradisional Nusantara, yang membentuknya berdasarkan, seniman-seniman “cabutan.” Maksud seniman cabutan dalam tanda kutip ini, adalah seniman dari kelompok lain atau seniman yang tak terikat oleh kelompok disatu-satukan untuk memenuhi permintaan kesenian dalam satu atau beberapa kali pertunjukan. Pemakaian seniman cabutan ini, adalah fenomena yang umum terjadi di Sumatera Utara misalnya. Alasan melakukan ini adalah, banyak seniman ingin menambah penghasilan keuangannya melalui banyaknya pertunjukan. Ia tak mau terikat hanya dalam satu organisasi kesenian saja. Karena jarang sekali ada sebuah organisasi kesenian yang membayar gaji seniman setiap bulan dengan jumlah tertentu sebagaimana layaknya tenaga kerja. Apalagijika dikaitkan dengan upah minimum regional. Oleh karena itu, sebagian besar seniman di Sumatera Utara misalnya adalah seniman cabutan, yang bisa main dengan organisasi seni di luar organisasi utamanya.
Ke masa depan tentu saja sistem seperti ini perlu dikurangi dan perlu diimbangi dengan sistem kerja hanya untuk satu organisasi seni semata dan dibayar gaji pokoknya oleh sebuah oraganisasi seni dengan sistem kontrak. Tujuannya agar seniman lebih profesional, dapat main dan menciptakan seni dengan tenang, terarah, terpadu, dan tidak lagi pusing memikirkan income per kapitanya setiap bulan. Paling tidak organisasi kesenian harus bisa melakukan kegiatan seperti layaknya organisasi sebuah pabrik sepatu atau pabrik ban mobil misalnya.
(g) Asas keluarga dan kekeluargaan. Sistem manajemen ini banyak diterapkan oleh organisasi-organisasi kesenian di Nusantara. Sistem manajemen ini memang ada kelebihannya di satu pihak, yaitu para anggotanya merasa sebagai satu keluarga besar, yang terikat hubungan kekerabatan dan darah, sehingga masalah yang timbul dengan mudah dapat dipecahkan dengan landasan mereka satu keluarga yang sesungguhnya baik di bidang kesenian maupun kekerabatan. Di sisi lain, sistem ini agak kurang demokratis. Artinya bakat-bakat seniman yang handal di luar keluarga, agak sulit untuk masuk ke dalam organisasi seni tersebut. Kualitas sumber daya manusia dan produksi seni dalam organisasi seperti ini hanya menjadi nomor sekian saja. Selain itu, karena berdasar kepada keluarga dan kekeluargaan, maka pengembangan yang ekstensif kurang diperhatikan. Misalkan saja sejak zaman dahulu, mereka mewarisi kesenian istana Melayu, maka sampai sekarang pun mereka akan memproduksi kesenian yang sama. Untuk membuka diri memproduksi seni akyat atau etnik lain agak kurang, karena pembatasan sumber daya manusia seni tadi. Tentu mereka akan enggan memakai seniman etnik Nias misalnya. Ataupun kalau dipakai sifatnya bukan sebagai anggota tetap hanya sebagai pemain cabutan. Atau seniman Nias ini hanya melatih dan kemudian mereka yang mengambilalih persembahan kesenian Nias tadi. Itu banyak terjadi di kawasan Nusantara.
(h) Sangat erat dengan ritual masyarakat. Produksi seni tradisional, umumnya sangat erat dengan ritual-ritual yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam keadaan sedemikian, uang bukanlah aspek terpenting, bahkan kadang seniman berbuat bukan dimotivasi oleh uang tetapi dimotivasi oleh sistem religinya. Kegiatan yang dilakukannya benar-benar sebagai bagian dari ibadahnya kepada Tuhan. Ia melakukan dan mempraktikkan seni untuk Tuhan bukan untuk ekonominya. Banyak peristiwa seni di Nusantara yang mengabsahkan gabaran ini. Misalnya dalam masyarakat Islam di Sumatera Utara, para seniman penyanyi (pembaca) barzanji dan marhaban, yaitu satu genre seni vokal yang memuji-muji abi Muhammad dalam bentuk syair berbahasa Arab, yang biasanya digunakn untuk mengiringi uoacara perkawinan, sunatan, atau menyambut bayi lahir. Setiap seniman tidak mengharapkan uang lelah atau uang honorarium. Mereka biasanya tidak akan keberatan jika hanya diberi pulut kuning atau bunga telur, sebagai balasan dari yang empunya acara. Tetapi mereka pun tidak akan menolak bila diberi amplop yang berisi uang, katakanlah mereka menerima Rp 10.000 setiap orangnya. Para seniman ini merasa mereka membantu sesama muslim dan perbuatan ereka adalah ibadah langsung kepada Allah dan ibadah sosial kepada sesama manusia. Begitu juga dalam masyarakat Batak Toba Parmalim, para pemusik ketika mengiringi upacara ritual Sipaha Sada atau Sipaha Lima (sesuai dengan ritus dan kalender Batak Toba Tua), tidak akan emminta bayarannya sebagai pemusik profesional., tetapi sebaliknya adalah sebagai bakti dan ibadahnya kepada Tuhan (Debata Mula Jadi na Bolon).
Bagi para penganut agama Kristen Protestan atau Katolik, setiap hari Minggu mereka menanyi di gereja sebagai bagian dari ibadahnya. Walau ia seorang pemain piano profesional, atau ia seorang penyanyi sopran, alto, teno, atau bass. Kalau biasanya mereka diberi honorarium tinngi untuk pertunjukan yang sifatnya di luar ibadah gereja, maka ketika ia mempertunjukkan kesenian di gereja ini tidak mungkin ia meminta honorarium. Bahkan kalau diberi honor pun oleh pihak gereja misalnya pasti ia akan menolaknya.
Keadaan seperti ini merupakan ciri utama dalam masyarakat Timur yang religius. Jadi manajemen di bidang seperti ini yang perlu diatur adalah bagaimana menggerakkan sumber daya manusia yang ada untuk menjadi bagian dari pertunjukan upacara atau pertunjukan budaya. Sekali lagi uang atau honor berkesenian bukan yang utama di sini. Yang berperan adalah konsep-konsep dan aktivitas religius, yang memotivasi setiap orang dan seniman untuk melakukan menurut fungsi individunya dalam konteks masyarakat luas, yang memiliki cita-cita dan tujuan bersama.
(i) Ikut berperannya pemerintah daerah. Dalam rangka melestarikan seni budaya tradisional, maka pemerintah Republik Indonesia, mencanangkan perlunya pembinaan, pelestarian, pemungsian kesenian tradisional terutama untuk pariwisata dalam kehidupan masyarakat pendukungnya, maka pihakpemerintah ikut serta mengarahkan atau memanajemeni seni-seni tradisional seluruh Indonesia. Tak jarang pemerintahan di tingkat kecamatan atau kabupaten memiliki sanggar kesenian daerahnya. Biasanya didukung pula oleh isteri camat atau gubemur, dan tentu saja tak segan-segan mengucurkan dana untuk bidang kesenian daerah ini. Itu semua dilakukan untuk berbagai tujuan. Bisa tujuan politis, popularitas, atau memang juga dengan ikhlas ingin mengembangkan kebudayan daerahnya, karena ia menjadi orang nomor satu di daerah yang dipimpinnya tersebut. Di Sumatera Utara misalnya, di masa kepemimpinan Gubemur Tengku Rizal Nurdin, ia membentuk kesenian gubemuran yang langsung diketuai oleh isterinya. Grup kesenian ini bemama Cindai. Beberapa seniman, kemudian dimasukkannya menjadi pegawai negeri sipil. Beberapa persembahan dilakukan di Sumatera Utara dan manca negara. Satu sisi berkembang dan bertambahlah organisasi kesenian di Sumatera Utara. Di sisi lainnya, timbullah “kecemburuan” organisasi seni lainnya, yang merasa kurang diperhatikan.
Demikian sekilas kajian tentang sistem manajemen kesenian tradisional, dengan memebrikan contoh-contoh di sekitar lingkungan dan pengalaman berkesenian penulis. Tentu saja kajian ini barulah tahap awal. Ke depan perlu kita kaji bersama-sama dengan pendekatan multidisiplin ilmu dan ilmuwan dari berbagai bidang akademik, seperti dari lmu manajemen, ilmu hukum, ilmu antropologi, ilmu-ilmu seni (etnomusikologi, antropologi tari, antropologi teater, seni rupa, kajian seni pertunjukan), sosiologi, dan lain-lainnya.
DATAR PUSTAKA
Adler, Mortimer J. Et al. (eds.). 1983. Encyclopaedia Britannica (Vol. XII). Chicago: Helen Hemingway Benton.
Adshead, Janet. 1988. Dance Analysis: Theoy and Practice. London: Dance Book.
Albert, Lepawsky. 1960. Administration. New York: Alfred A. Knoft.
Aston, Elaine dan George Savona. 1991. Theatre as Sign-System: A Semiotics of Text and Performance. London dan New York: Routledge.
Atmosudirdjo, Prajudi, 1971. Office Management. Jakarta: Untag University Press.
Backus, John. 1977. The Acoustical Foundation of Music. New York: W.W. Norton Company.
Black, James M., 1970. Personnel Management (terj. Winardi). Bandung: Alumni.
Boyce-Martin, Jane. 1977. Personnel management. London: McDonals & Evans.
Colleman, Griffin. 1983. Pakpak Batak Kin Groups and Land Tenure: A Study of Descent Organization and Its Cultural Geology. Canberra: Monash University. Disertasi doktof falsafah.
Denzin, Norman K. Dan Yvonna S. Lincoln (eds.). 1995. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, London, dan New Delhi: Sage Publications.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Deraman, A. Azis, 2002. Himpunan Kertas Kerja: Isu dan Proses Pembukaan Minda Umat Melayu Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Edwards, Paul et al. (eds.). 1967. The Encyclopedia of Philosophy (vol. 1 dan 2). New York dan London: Collier Macmillan Publisher.
Flippo, Edwin B. 1976. Principles of Personnel Management. Tokyo: McGraw-Hill.
Gillin, J.L. dan J.P. Gillin. 1954. For A Science of Social Man. New Yor: McMillan.
Horton, Paul B. Dan Chester L. Hunt, 1984. Sociology, edisi kelapan. Michigan McGraw-Hill. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, 1993. Sosiologi. Terjemahan Aminuddin Ram dan Tita Sobari. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hutagaol, Realino, 2006. Pertunjukan Musik Keyboard Mak Lampir di Desa Tualang, Serdang Bedagai, pada Malam Hiburan Acara Adat Perkawinan Jawa. Medan: Skripsi Etnomusikologi FS USU.
Jose Rizal Firdaus, 2007. “Teknik Tari Serampang 12 Karya Guru Sauti.” Makalah pada Seminar Intemasional Tari Serampang Dua Belas di Medan.
Jucius, Michael J., 1962. Personnel Management. Tokyo: Charles E. Tuttle Company.
Koentjaraningrat, 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Koentjaraningrat (ed.), 1980. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Koontz, Harold dan Cryl O’Donnel, 1959. Principles of Management. New York: McGraw-Hill Book Company.
Lomax, Alan P. 1968. Folk Song Style and Culture. Transaction Books New Jersey.
Lorimer, Lawrence T. et al., 1991, Grolier Encyclopedia of Knowledge (volume 1-20). Danburry, Connecticut: Groller Incorporated.
Malinowski, “Teori Fungsional dan Struktural,” dalam Teori Antroplologi I Koentjaraningrat (ed.), (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987).
Malm,William P., 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs; serta terJemahannya dalam bahasa Indonesia, William P. Malm, 1993, Kebudayaan Musik Pasiflk, Timur Tengah, dan Asla, dialihbahasakan oleh Muhammad Takari, Medan: Universitas Sumatera Utara Press.
Merriam, Alan P. (1964), The Anthropology of Music. Chicago Nortwestem University.
Miner, John B. dan Green iner, 1977. Personnel & Industrial Relations: A Management Approach. New York: MacMillan Publishing.
Peirce, Charles S. (1938-1956). The Collected Papers, 8 vols., Charles Hartshome, Paul Weiss, and Arthur W. Burks (eds.). Cambridge: Harvard University Press.
Rastuti, Martavia, 2008. Yusuf Wibisono: Perannya dalam Kebudayaan Musik Melayu di Sumatera Utara. Medan: Skripsi Sarjana Seni Departemen Etnomusikolofi FS USU.
Radcliffe-Brown, A.R., 1952. Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press.
Royce, Anya Paterson, 1980. The Anthropology of Dance. Bloomington dan London: Indiana University Press.
Sadie, Stanley (ed.). 1980. The New Grove Dictionary Music and Musicians. Ann Arbor, New York dan London: Macmillan Publishers Limited.
Shadily, Hassan, 1983. Ensiklopedi Indonesi. Jakarta: Ikhtiar Baru-Vanhoeve.
Sheppard, Mubin, 1972. Taman Indera: Malay Decorative Arts and Pastimes. London: Oxford University Press.
S. Nasution, 1982. Metode Research. Bandung: Jemmars.
Sukama, 1992. Dasar-Dasar Manajemen. Bandung: Mandar Maju.
Suriasumantri, Yuyun S. 1983. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor dan Leknas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Terry, George R., 1962. Office Management and Control. Illinois: Richard D. Irwin.
Terry, George R. Dan Leslie W. Rue, 2000. Dasar-Dasar Manajemen (alihbahasa G.A. Ticolu). Jakarta: Bumi Aksara.
The Liang Gie, 1970. Administrasi Perkantoran Modem. Yogyakarta: Pertjetakan Radya Indria.
Tumer, Victor dan Edward M. Bruner (eds.). 1983. The Anthropology of Performance. Urbana dan Chicago: University Illinois.
Tumer, Victor, 1980. From Ritual to Theater: The Human Seriousness of Play. New York: PAJ Publication.
Ulack, Richard (2007). Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica 2007 Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica.
Urwick, 1961. The Elements of Administration. London: Sir Isaak Pitman & Sons.
Wan Abdul Kadir, 1988. Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Bandaran, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
White, R. Clyde, 1950. Administration of Public Welfare. New York: American Book Company.