ILMU-ILMU SENI DAN PENDEKATAN ILMIAH
Seni dalam Kajian Estetika
Dalam sejarah pengetahuan dan sains (ilmu pengetahuan), studi terhadap unsur‑unsur keindahan, dilakukan dalam disiplin yang disebut estetika (aesthetic) atau dalam bahasa Indonesia lazim disebut filsafat keindahan.[1] Dalam peradaban Barat, estetika dimulai dari sumber‑sumber‑sumber budaya Yunani dan Romawi. Edward et al. (eds.) membagi sejarah perkembangan filsafat Barat, termasuk estetika ke dalam periode‑periode: (1) Plato, yang pada prinsipnya memperbincangkan seni dan kerajinan (kriya), imitasi, keindahan, seni dan pengetahuan, dan seni serta moralitas; (2) Aristoteles, yang memperbincangkan pengetahuan tentang penikmatan seni, imitasi, penikmatan keindahan, keuniversalan seni, serta katarsis; (3) filosof klasik yang lebih akhir, yang umumnya berminat dalam puisi dan masalah semantik. Di antaranya Zeno, Cleanthes, dan Chrysippus; (4) Abad Pertengahan yang ditokohi oleh St. Agustinus dan Thomas Aquinas. Keduanya memisahkan unsur penikmatan dan hasil dari keindahan. (5) Renaisans, yang berkembang pada abad ke‑15 dan 16. Pada saat ini dilakukan revivalisasi filsafat‑filsafat Plato, sehingga periode ini disebut juga dengan Neo‑Platonisme; (6) Rasionalisme Cartesian pada Zaman Pencerahan; (7) Empirisisme; (8) Idealisme Para Filosof Jerman yang ditokohi oleh Immanuel Kant; (9) Romantisisme, yang menekankan kepada unsur ekspresi emosional; serta (10) Pcrkembangan Kontemporer (Edward et al. 1967: volume 1 dan 2).
Sebagai sebuah gagasan, ada keterhubungan antara kesenian dan estetika. Berbagai cabang seni dapat juga ditampilkan seperti dalam seni teater yang mencakup seni: visual, musik, sastra, dan tari. Saling keterhubungan cabang‑cabang seni ini memperlihatkan adanya sumber-sumber yang sama, terutama dalam tahap ide, walaupun menggunakan media yang berbeda‑beda.
Berbagai kesenian merupakan petualangan manusia, dan sebagian besar karya‑karya tentang estetika pada masa kini, dimulai dari perbedaan-perbedaan umum di antara cabang‑cabang seni yang dihasilkan dalam kehidupan kita. Namun demikian, dalam tahapan tertentu berbagai cabang kesenian ini mempunyai satu kesatuan, yang membentuk identitas masyarakat pendukungnya.
Studi tentang estetika ini secara eksplisit dikemukakan oleh Adler el al. (eds.) sebagai berikut:
The discipline called aesthetics may be described broadly as the study of beauty and, to a lesser extent, its opposite 'the ugly.’ It may include general or theoretical studies of the arts and of related types of experiences, such as those of the philosophy of art, arts criticism, and the psychology and sociology of the arts. The world general is emphasized because a narrowly specialized study of particular work of art or artist would not ordinarily be regarded as an example of aesthetics. Aesthetics has often defined more specifically as the science of the beautiful, a definition implying an organized body of knowledge covering a special field of subject matter.
The arts may be include the visual and theatre arts, music, dance, and literature. In the ancient world, there was no clear distinction between aesthetic and useful art. Aesthetic as a philosopher or scientific discipline is not to be confused with art, though it may undertake to study the arts in a more or less intellectual, logical way. (1986:161).
Estetika adalah disiplin terhadap keindahan atau seni. Bahasan seni dalam estetika mencakup masalah filosofis (pengetahuan) dan sains sekali gus. Kemudian, secara bertahap berkembanglah berbagai disiplin seni yang lebih mcngedepankan aspek rasional dan empiris‑‑yang didasari oleh interaksi bangsa‑bangsa di dunia ini. Dimulai oleh disiplin antropologi yang kemudian bersentuhan dengan disiplin seni, seperti yang diuraikan berikut ini.
Antropologi dan Seni
Antropologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari manusia (anthropos), sebagai sebuah disiplin integrasi dari berbagai ilmu yang masing‑masing mempelajari suatu kompleks masalah‑masalah khusus mengenai makhIuk manusia (lihat Koentjaraningrat 1980:1). Integrasinya ini mengalami proses sejarah yang panjang, dimulai sejak kira‑kira. awal abad ke‑19. Antropologi mulai mencapai bentuknya yang konkret setelah lebih dari 60 pakamya dari berbagai negara Eroamerika bertemu mengadakan simposium tahun 1951. Pendekatan ilmiah antropologi adalah berdasarkan kepada kajian menyeluruh (universal) terhadap manusia, yang mencakup bermacam jenis manusia, kebudayaannya, serta semua aspek pengalaman manusia. Pendalaman bidang‑bidang antropologi di antaranya adalah: antropologi fisik, antropologi budaya, arkeologi, antropologi linguistik, dan etnologi.
Kesenian sebagai salah satu unsur dan ekspresi budaya, jelas dapat dikaji oleh antropologi budaya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, beberapa disiplin yang objeknya adalah seni berdiri dan tetap memakai berbagai teori dan metode dalam antropologi, seperti persinggungannya dengan musikologi menghasilkan etnomusikologi, dengan tari menghasilkan antropologi tari, dengan teater menghasilkan antropologi teater, dan seterusnya. Oleh karena itu, akan dibahas apa itu musikologi secara garis besar saja.
Musikologi lahir di Dunia Barat, yang pada dasamya mempelajari musik seni (art music) Barat seperti kcarya‑karya Bach, Beethoven, Stravinsky, musik gereja, trobadour, trouvere, dan lainnya. Ilmu ini membuat dikotomi yang mencolok antara "musik seni" dan "musik primitif” berdasarkan atas ada atau tidaknya budaya tulis dan teori yang telah berkembang. Secara keilmuan, musikologi bersifat humanistis dan cenderung mengesampingkan ilmu‑ilmu pengetahuan lain, kecuali yang bersinggungan saja. Secara mendasar, musikologi bersifat historis budaya Barat dan objek studinya adalah musik sebagaimana adanya.
Berbanding terbalik dengan musikologi, antropologi mempunyai ciri‑ciri mempelajari manusia sepanjang masa; melihat semua aspek budaya manusia dan masyarakat sebagai sekelompok variabel yang berinteraksi. Antropologi mempunyai orientasi saintifik, yang metodologinya sebagian historis akan tetapi pada dasamya bersifat saintifik. Tujuan antropologi adalah untuk memahami tingkah laku manusia.
Musikologi dan antropologi bukanlah bentuk studi yang sama. Yang pertama masuk pada studi humaniora, yang kedua adalah ilmu sosial. Setelah berpadu dalam disiplin baru etnomusikologi, maka terjadi perkembangan‑perkembangan lebih lanjut, disertai ciri khas setiap kawasan yang mengasuh ilmu ini, walaupun dasar‑dasamya adalah ingin mengetahui manusia, lewat jendela budaya musik secara universal. Dalam perkembangan selanjutnya, para musikolog yang sadar akan kemitraan dengan budaya di luar Barat, bahkan menjadi etnomusikolog. Atau ada juga etnomusikolog yang kajiannya adalah musik Eropa, biasanya musik folk atau rakyat.
Interelasi
Secara ilmiah, interaksi positif terjadi antara antropologi dengan teater, musik, dan tari. Yang pertama menghasilkan. disiplin antropologi teater, yang kedua etnomusikologi, dan ketiga etnologi tari, atau disebut juga antropologi tari dan etnokoreologi. Ketiga disiplin ilmu pengetahuan tersebut lahir di Barat, dan etnomusikologi muncul paling dahulu, yaitu akhir abad ke‑19 (1890‑an). . Demikian pula di Indonesia, etnomusikologi lebih dahulu dibuka di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara tahun 1979, yang kemudian diikuti oleh institusi seni lainnya. Kemudian disusul oleh berdirinya ilmu antropologi tari dan antropologi teater.
Etnomusikologi
Berdasarkan sejarah perkembangan disiplinnya, etnomu-sikologi mengenal dua kelompok definisi. Kelompok pertuna adalah pengertian yang lebih dekat dengan studi musikologi komparatif Barat. Definisi ini dapat dibedakan atas tiga macam. Pertama, definisi yang menekankan pada jenis musik yang dipelajari yaitu musik dan alat musik dari semua bangsa non‑Eropa, termasuk suku yang disebut primitif, dan bangsa‑bangsa Timur yang berbudaya (Kunst 1950). Kedua, definisi yang menekankan musik sebagai tradisi lisan, yaitu etnomusikologi pada dasamya mewarisi musik pada tradisi lisan (List 1962). Definisi ketiga, merumuskan etnomusikologi sebagai bidang yang mempelajari musik di luar masyarakat peneliti atau pengamat, yaitu etnomusikologi mempelajari musik bangsa‑bangsa lain (Wachsman 1969).
Selanjutnya definisi kelompok kedua menekankan kepada proses kerja ilmuwan etnomusikologi. Mereka mendefinisikan etnomusikologi adalah studi tentang musik di dalam konteks kebudayaan (Merriam 1964). Definisi‑definisi yang menekankan pada proses kerja, memaksa peneliti untuk memusatkan kepada totalitas bukan kepada seperangkat komponen dari bagian‑bagian tertentu, untuk memperlakukan deskripsi sebagai langkah awal dalmn mengadakan studi, dan untuk membuat konsepsi suara musik tidak terpisah, tetapi merupakan bagian dari totalitas masyarakat dan budaya.
Antropologi Tari
Antropologi tari adalah sebuah disiplin baru yang sebelumnya dikenal sebagai etnologi tari, atau oleh sebagian pakar disebut dengan etnokoreologi. Walau istilah etnologi tari baru tersebar luas, tetapi penelitian di bidang etnologi tari telah berlangsung sejak tahun 1930‑an. Jika di bidang etnomusikologi ada tokoh Alan P. Merriam, maka dalam antropologi tari salah seorang perintisnya adalah Getrude Prokosch Kurath yang kumpulan esainya diterbitkan tahun 1986 dengan judul Half Century of Dance Research oleh Cross Cultural Dance Research (CCDR, Flagstaff, Arizona, Amerika Serikat). Ada pula seorang tokoh yang dikenal cukup ahli baik di bidang etnomusikologi maupun antropologi tari yaitu Curt Sachs.
Kurath menggunakan 20 tahun pertama karimya sebagai penari dan produser pertunjukan budaya, tetapi kemudian menceburkan dirinya di bidang penelitian etnologi tari. Menurutnya, metode penelitian etnologi tari terdiri dari tiga tahap: (1) melakukan studi secara aktif dan mendatangi upacara‑upacara masyarakat yang diteliti; (2) mentransfer pola‑pola tari ke dalam bentuk tulisan, dengan deskripsi verbal dan layout visual; dan (3) menginterpretasikan fakta‑fakta yang telah diorganisasikan.
Seperti dalam studi etnomusikologi, yang tergantung latar belakang pendidikannya, dalam kajian tari pun ada peneliti‑peneliti yang lebih menekankan salah satu disiplin: antropologi atau tari. Seperti yang dikemukakan oleh Adrianne Kaeppler, bahwa para ahli etnologi tari biasanya adalah berlatarbelakang sebagai penari‑‑yang melihat tari terpisah dari konteks budaya masyarakatnya. Mereka selalu mendeskripsikan tari menurut pandangan mereka sendiri, bukan pandangan masyarakat pelaku tari itu. Mereka mendeskripsikan secara. struktural bagian‑bagian tari itu seperti pola gerak, motif, garis, arah, dan repetisi tari.
Sebaliknya, para etnolog tari ingin mengetahui lebih dari itu. Antropologi pada abad ke‑20 telah berkembang dari pendekatan deskriptif dan natural ke pendekatan yang menekankan kepada teori. Bagi antropolog, deskripsi tari dari seluruh dunia ini bukan etnologi, hanya sekedar data, yang lebih jauh harus dianalisis secara. etnografis, sehingga didapatkan makna‑makna kulturalnya, baik dengan memakai teori maupun metode ilmiah.
Menurut Janet Adshead dalam bukunya Dance Analysis: Theory and Practice (London, Dance Book, 1988:6) penelitian terhadap tari pada perkembangan sekarang ini memerlukan bantuan disiplin lainnya, seperti: antropologi, sejarah, psikologi, sosiologi, teologi, dan lainnya. Disiplindisiplin ini sangat membantu untuk memahami tari dalam konteks yang lebih luas, serta menjelaskan fungsi‑fungsinya dalam kehidupan masyarakat pendukungnya.
Kajian Pertunjukan Budaya dan/atau Antropologi Teater
Kajian pertunjukan (performance study) adalah sebuah disiplin (ilmu) yang relatif baru, yang dalam pendekatan saintifiknya berdasar kepada interdisiplin atau multidisiplin ilmu, yaitu mempertemukan antara lain antropologi, kajian teater, antropologi tari atau etnologi tari, etnomusikologi, folklor, semiotika, sejarah, linguistik, koreografi, kritik sastra, dan lainnya. Dua orang tokoh terkemuka pada disiplin ini adalah Victor Tumer (antropolog) dan Richard Schechner (aktor, sutradara teater, pakar pertunjukan, dan editor majalah The Drama Review).
Sasaran kajian pertunjukan tidak terbatas kepada pertunjukan yang dilakukan di atas panggung saja, tetapi juga yang terjadi di luar panggung, seperi olah raga, permainan, sirkus, karnaval, perjalanan ziarah, nyekar, dan upacara. Dia menulis buku yang terkenal From Ritual to Theater On the Edge of the Bush: Anthropology as Experience, The Anthropology of Performance, dan The Anthro-pology of Experience. Buku yang terakhir ini, disuntingnya bersama Victor Tumer dan Edward M. Bruner tahun 1982 setahun sebelum ia meninggal dunia. Pada karya‑karyanya tersebut secara saintifik Schechner dan Tumer tampaknya menawarkan pentingnya pendekatan pengalaman, pragmatik, praktik, dan pertunjukan dalam mengkaji kesenian. Tentunya pendekatan ini diperlukan berdasarkan asumsi dasar bahwa pengalaman yang kita alami tidak hanya dalam bentuk verbal tetapi juga dalam bentuk imajinasi dan impresi (kesan). Keseluruhan disiplin pertunjukan budaya di atas umumnya mendasarkan kajianya pada pendekatan ilmiah dengan menggunakan teori-teori.
Beberapa Contoh Teori untuk Mengkaji Seni
Ilmu pengetahuan (sains) adalah suatu disiplin yang mempunyai tahap‑tahap dan prosedur tertentu, yang sering disebut dengan pendekatan ilmiah. Di antaranya adalah: rasionalisme, empirisme, determinisme, hipotesis dan pembuktian, asumsi, pengamatan, penelitian, dan lainnya (Lihat Denzin dan Lincoln 1995).
Pendekatan saintifik biasanya menggunakan teori tertentu. dalam mengkaji fenomena alam, biologi, sosial, budaya, dan lain‑lainnya. Teori memiliki peran penting dalam pendekatan ilmiah. Dengan teori seorang ilmuwan dibekali dasar‑dasar bagaimana mencari dan mengolah data‑-sehingga didapatkan kesimpulan yang absah. Teori menurut Marckward (1990:1302) memiliki tujuh pengertian: (1) sebuah rancangan atau skema pikiran, (2) prinsip dasar atau penerapan ilmu pengetahuan, (3) abstrak pengetahuan yang antonim dengan praktik, (4) rancangan hipotesis untuk menangani berbagai fenomena, (5) hipotesis yang mengarahkan seseorang, (6) dalam matematika adalah teorema yang menghadirkan pandangan sistematik dari beberapa subjek, dan (7) ilmu pengetahuan tentang komposisi musik. Jadi dengan demikian, teori berada dalam tataran ide orang, yang kebenarannya secara empiris dan rasional telah diujicoba terutama oleh pakar teori tersebut. Dalam dimensi waktu teori‑teori dari semua disiplin ilmu terus berkembang. Teori‑teori yang dipergunakan dalam mengkaji tari, musik, teater/pertunjukan, seni rupa, diambil dari berbagai disiplin atau dikembangan sendiri secara khas, seperti beberapa contoh yang dikemukakan berikut ini.
Semiotika
Pendekatan untuk mengkaji seni, salah satunya mengambil teori semiotika dalam rangka usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis semiotika adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Peirce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri.
Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat (interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang‑lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan lambang‑lambang ke dalam tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto, maka disebut ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, maka disebut dengan simbol.
Dengan mengikuti pendekatan semiotika, maka dua pakar pertunjukan budaya, Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis dari Perancis, mengaplikasikannya dalam pertunjukan. Kowzan menawarkan 13 sistem lambang dari sebuah pertunjukan teater--8 berkaitan langsung dengan pemain dan 5 berada di luamya. Ketiga belas lambang itu adalah: kata‑kata, nada bicara, mimik, gestur, gerak, make‑up, gaya rambut, kostum, properti, setting, lighting, musik, dan efek suara.
Pavis menyusun daftar pertanyaan yang lebih lugas dan detil untuk mengkaji sebuah pertunjukan. Pertanyaan‑ pertanyaannya menekankan perlunya dijelaskan bagaimana makna dibangun dan mengapa demikian. Pertanyaan ini menekankan pentingnya sebuah proses pertunjukan. Adapun pertanyaan‑pertanyaan itu adalah yang mencakup: (1) diskusi umum tentang pertunjukan, yang meliputi: (a) unsur‑unsur apa yang mendukung pertunjukan, (b) hubungan antara sistem‑sistem pertunjukan, (c) koherensi dan inkoherensi, (d) prinsip‑prinsip estetis produksi, (e) kendala‑kendala apa yang dijumpai tentang produksi seni, apakah momennya kuat, lemah, atau membosankan; (2) skenografi, yang meliputi: (a) bentuk ruang pertanjukan‑‑mencakup: arsitektur, gestural, keindahan, imitasi tata ruang, (b) hubungan. antara tempat penonton dengan panggung pertunjukan, (c) sistem pewamaan dan konotasinya., (d) prinsip‑prinsip organisasi ruang yang meliputi hubungan antara on‑stage dan off‑stage dan keterkaitan antara ruang yang diperlukan dengan gambaran panggung pada teks drama; (3) sistem tata cahaya; (4) properti panggung: tipe, fungsi, hubungan antara ruang dan para pemain; (5) kostum: bagaimana mereka mengadakannya serta bagaimana hubungan kostum antar pemain; (6) pertunjukan: (a) gaya. individu atau konvensional, (b) hubungan antara pemain dan kelompok, (c) hubungan antara. teks yang tertulis dengan yang dilakukan, antara pemain dan peran, (d) kualitas gestur dan mimik, (e) bagaimana dialog dikembangkan; (7) fungsi musik dan efek suara; (8) tahapan pertunjukan: (a) tahap keseluruhan, (b) tahap‑tahap tertentu sebagai sistem tanda seperti tata cahaya, kostum, gestur, dan lain‑lain, tahap pertunjukan yang tetap atau berubah tiba‑tiba; (9) interpretasi cerita dalam pertunjukan: (a) cerita apa yang akan dipentaskan, (b) jenis dramaturgi apa yang dipilih, (c) apa yang menjadi ambiguitas dalam pertunjukan dan poin‑poin apa yang dijelaskan, (d) bagaimana struktur plot, (e) bagaimana cerita dikonstruksikan oleh para pemain dan bagaimana pementasannya, (f) termasuk genre apakah teks dramanya; (10) teks dalam pertunjukan: (a) terjemahan skenario, (b) peran yang diberikan. teks drama dalam produksi, (c) hubungan antara teks dan imaji; (11) penonton: (a) di mana pertunjukan dilaksanakan, (b) prakiraan penonton tentang apa yang akan terjadi dalam pertunjukan, (c) bagaimana reaksi penonton, dan (d) peran penonton dalam konteks menginterpretasikan makna‑makna; (12) bagaimana mencatat produksi pertunjukan secara teknis, (b) imaji apa yang menjadi fokus; (13) apa yang tidak dapat diuraikan dari tanda‑tanda pertunjukan: (a) apa yang tidak dapat diinterpretasikan dari sebuah pertunjukan, (b) apa yang tidak dapat direduksi tentang tanda dan makna pertunjukan (dan mengapa), (14) apakah ada masalah‑masalah khusus yang perlu dijelaskan, serta berbagai komentar dan saran lebih lanjut untuk. melengkapi sejumlah pertanyaan dan memperbaiki produksi pertunjukan.
Teori Evolusi
Selain itu dalam seni pertunjukan lazim pula dipergunakan pula teori evolusi. Pada dasamya, teori evolusi menyatakan bahwa unsur kebudayaan berkembang sejalan dengan perkembangan ruang dan waktu, dari yang berbentuk sederhana menjadi lebih kompleks. Teori ini dalam kesenian banyak digunakan untuk mengkaji sejarah seni. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Wan Abdul Kadir dari Malaysia dalam tulisannya. yang berjudul Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Bandaran (1988), yang mengkaji perkembangan kebudayaan Melayu dari masa kerajaan Melayu Melaka sampai akhir Perang Dunia Kedua‑‑yaitu terdiri dari masa Kerajaan Melayu Melaka 1400‑an berkembang ke masa pendudukan Pulau Pinang oleh Inggris tahun 1786, pembukaan Singapura 1819, Pemerintahan Kolonial sampai 1874, 1880‑an pertumbuhan teater bangsawan, 1908 film, 1914 piringan hitam, 1930 film Melayu, dan 1930‑an radio. Wan Abdul Kadir melihat perkembangan budaya masyarakat Melayu dari yang sederhana ke yang lebih kompleks dalam batasan waktu tahun 1400‑an sampai pertengahan abad ke‑20 dan berdasarkan penemuan teknologi baru.
3.3.3 Teori Difusi
Teori difusi juga dipergunakan dalam mengkaji seni. Pada prinsipnya, teori ini mengemukakan bahwa suatu kebudayaan dapat menyebar ke kebudayaan lain melalui kontak budaya. Karena teori ini berpijak pada alasan adanya suatu sumber budaya, maka ia sering disebut juga dengan teori monogenesis (lahir dari satu kebudayaan). Lawannya adalah teori poligenesis, yang menyatakan bahwa beberapa kebudayaan mungkin saja memiliki persamaan‑persamaan baik ide, aktivitas, maupun benda. Namun demikian, sejumlah persamaan itu bukanlah menjadi alasan adanya satu sumber kebudayaan. Bisa saja persamaan itu muncul secara kebetulan, karena ada unsur universal dalam diri manusia. Misalnya bentuk dayung perahu hampir sama di mana‑mana di dunia ini. Namun itu tidak berarti bahwa ada satu sumber budaya pembentuk dayung perahu. Katakanlah dayung perahu berasal dari China Selatan. Teori ini banyak dipergunakan oleh para pengkaji seni yang mencoba mencari adanya sebuah sumber budaya. Dalam kajian seni, misalnya sebagian besar peneliti percaya bahwa zapin berasal dari Yaman. Hal ini didukung oleh fakta‑fakta sejarah, dan bukti-bukti peninggalannya di Yaman sekarang ini, dan persebaran kesenian ini ke berbagai kawasan di Nusantara (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina).
Teori Siklus Kuint dan Lainnya
Dalam mengkaji timbulnya tangga nada di dunia ini, para etnomusikolog telah mencapai tahap generalisasi, dengan menggunakan teori siklus kuint (overblown fifth). Dari bahan‑bahan sejarah di China ditemui bahwa untuk membentuk sebuah tangga nada, seorang rajanya bemama Huang Ti memerintahkan memotong bambu dalam ukuran‑ukuran tertentu berdasarkan siklus interval kuint dengan rasio matematis 3/4 dan 2/3. Di Yunani‑Romawi, India, serta Timur Tengah, tangga nada diturunkan dari alat‑alat musik bersenar dengan membagi rasio panjangnya senar. Sehingga didapati tangga nada heptatonik (7 nada) yang dibagi ke dalam dua tetrakord (kumpulan empat nada tangga nada). Tangga nada jenis ini dianalisis dalam teori devisif.
Para pengkaji seni yang meminati upacara‑upacara terutama kematian, selalu menggunakan teori rites de passages yang ditawarkan oleh antropolog Van Gennep. Bahwa sebuah kematian manusia adalah dalam kondisi transisi dari suatu dunia ke dunia lain.
Para etnomusikolog juga dalam mengkaji struktur musik sering menggunakan teori kantometrik, yaitu sebuah teori "general" untuk melihat bagaimana struktur umum budaya musik yang diteliti melalui 37 jenis parameter dimensi ruang dan waktu dalam musik. Selain itu juga dipergunakan teori weighted scale, yang melihat unsur‑unsur pembentuk melodi, seperti: tangga nada, wilayah nada, jumlah nada, interval, kontur, formula, dan lainnya (lihat Malm 1977).
Para etnolog tari, dalam mengkaji struktur tari juga selalu menggunakan teori koreometrik, yang sama dasamya dengan kantometrik namun dipergunakan untuk mengkaji struktur tari. Unsur‑unsur tari yang dibahas di antaranya: waktu, ruang, dan tenaga.
Selain dari teori‑teori ilmu sosial dan humaniora dalam kajian seni tak kalah pentingnya juga dipergunakan teori‑teori dalam ilmu eksakta. Misalnya untuk mendeskripsikan pengecoran dalam pembuatan alat‑alat musik, dipergunakan teori reduksi oksidasi (redoks) dan sejenisnya dari ilmu kimia. Atau untuk menguji aspek akustik dan timber bunyi alat‑alat musik, biasanya dipergunakan disiplin fisika gelombang. Salah satu karya monumental di bidang akustik musik adalah karya John Backus yang berjudul The Acoustical Foundation of Music (1977).
Teori‑teori yang dipergunakan dalam mengkaji seni akan terus berkembang, scsuai dengan perkembangan pcradaban manusia di muka bumi ini. Dengan demikian, seniman dan ilmuwan seni terus ditantang untuk mengabdikan dirinya untuk kesejahteraan umat manusia secara umum atau secara khusus kelompoknya.
Temyata ilmu‑ilmu pertunjukan budaya umumnya cenderung untuk memakai pendekatan multidisiplin atau interdisiplin. Orang‑orang seni juga terbatas pengetahuannya berdasarkan latar belakang dan minat kajiannya. Untuk itu diperlukan pemahaman lebih luas tentang teori dan metode-metode ilmu‑ilmu sosial, humaniora, dan eksakta, terutama yang dapat mengambangkan ilmu‑ilmu seni pertunjukan budaya. Abad ke‑21 adalah abad persaingan dan kemitraan sekaligus. Hanya mereka yang mampu mengkaji, mengarahkan, menerapkan kebudayaan dilandasi jiwa religiusitas yang akan. mampu menjawab tantangan zaman dan menjadi masyarakat madani. Untuk itu marilah kita terus belajar sesuai dengan ilmu yang kita miliki, sambil mempelajari ilmu‑ilmu lain‑‑tidak terjebak dalam cabang ilmu secara sentris.
=========================
[1]Dalam bahasa Indonesia kata philosophy dalam bahasa Inggeris selalu dipadankan dengan kata filsafat. Sementara dalam bahasa Melayu Malaysia kata ini lebih sering dipadankandengan kata falsafah. Ahli filsafat sering disebut dengan filosof padanan dari kata philosopher dalam bahasa Indonesia, sedangkan dalam bahasa Melayu Malaysia sering disebut dengan filsuf.